Tumbuh dan besar dalam keluarga yang demokratis,
membuat aku dan adik-adikku terbiasa dalam nilai-nilai penuh kebebasan
selama tetap bertanggung jawab dan tidak keluar jalur. Orang tua
membebaskan aku dan saudaraku ikut kegiatan apa saja di luar rumah asal
jelas dan izin orang tua. Dan pada akhirnya, kepercayaan orang tuaku itu
kusalah artikan.
Berawal dari keisengan membeli kupon permainan
ketangkasan di sebuah pusat perbelanjaan, akhirnya menjadi hobi yang tak
bisa kutinggalkan. Sepulang sekolah aku habiskan waktuku di sana. Bila
tidak bermain “judi kecil-kecilan”, aku sibuk dengan game yang juga banyak menyajikan permainan ketangkasan dengan tukar koin.
Aku sudah kecanduan kelas berat. Bahkan sering tanpa kusadari, aku melakukan gerakan-gerakan memencet tombol game atau tiba-tiba berteriak karena merasa kalah atau menang game. Meski menjadi bahan tertawaan, aku tak peduli.
Oleh guru kelas, aku sering ditegur karena tak
lagi bisa konsen mengikuti pelajaran. Belum lagi nilaiku yang turun
drastis. Tak berhenti sampai di situ, emosiku mulai sering tak
terkendali bila dalam sehari tak berada di depan permainan-permainan
itu. Pendeknya bagaimana pun caranya aku harus bisa memenuhi hasrat
bermainku. Jadilah aku seorang pencuri.
Korban pertamaku adalah iuran SPP tiap bulan.
Berturut-turut kemudian dompet ibu dan ayahku. Lama-kelamaan aku mulai
berani mencuri di luar.
Tak terhitung entah berapa kali aku mengambil
sesuatu yang bukan hakku. Berkali-kali aku tertangkap basah. Namun itu
belum cukup membuatku jera. Aku melakukan semua itu seolah tanpa beban.
Ayah dan ibu sampai angkat tangan dan kehilangan akal mengatasiku.
Imbas lain dari kenakalanku itu, bolak-balik aku
harus pindah sekolah yang biasanya hanya bertahan dalam hitungan bulan.
Sampai pada akhirnya aku drop out sebelum bisa menyelesaikan
kelas dua. Ibu dan ayah sangat marah dan kecewa. Sebab segala nasihatnya
tak pernah satupun kuindahkan. Hanya sekedar lewat. Masuk telinga kiri,
keluar telinga kanan.
Bukannya berubah, sejak “DO” dari sekolah, justru
kenakalanku bertambah. Aku mulai terjebak dalam minuman keras dan
kehidupan malam di bar-bar. Berangkat menjelang sore, menjelang pagi
baru tiba di rumah. Sepanjang siang bila tak di ajak keluar teman,
kuhabiskan waktu untuk tidur. Shalat? Aku tak sempat lagi memikirkannya.
Di otakku yang ada hanya kenikmatan-kenikmatan dunia. Tak sedikitpun
aku berpikir tentang mati atau masa depan. Jadilah aku manusia yang
hidup tanpa tujuan sama sekali.
Hingga suatu hari, di rumah aku kedatangan
saudara sepupu. Yang kudengar ia akan tinggal bersama kami dalam waktu
yang cukup lama untuk sekolah. Ia seorang tuna netra sejak usia
menjelang tujuh tahun. Berawal dari sakit panas yang membawanya dalam
kebutaan permanen.
Semula aku tak peduli padanya. Bahkan aku sempat
berpikir kehadirannya akan membuat repot seisi rumah, termasuk aku.
Apa-apa harus dibantu, jalan mesti dituntun. Pendeknya dalam otakku yang
ada adalah prasangka buruk tentangnya dan segudang kerepotan yang akan
muncul dengan kedatangannya di rumah. Membayangkan saja sudah repot,
bagaimana kalau sudah benar-benar datang?
Ternyata dugaanku benar. Hari pertama ia tiba ia
sudah banyak bertanya tentang seluk beluk denah rumah. Di mana tempat
MCK, di mana letak ini itu. Sangat menyebalkan menurutku. Kadang aku tak
dapat menahan tawa, di awal pekan kehadirannya ia sering menabrak
sana-sini, hingga membuatku berteriak-teriak mengingatkannya.
Benar-benar bikin repot.
Pekan berikutnya ia sudah hafal tempat-tempat di
rumah. Tiap hari kerjanya menyapu, bersih-bersih rumah bahkan ia
menyikat kamar mandi juga menyetrika! Aku diam-diam terkagum-kagum.
Meski seusia dengannya, belum pernah aku yang normal begini mengerjakan
semua tugas itu. Semua beres di tangan ibu.
Belum lagi ia rajin shalat dan mengaji dengan Al
Quran Braille. Suaranya merdu dan tak jarang sesekali suaranya tersendat
seperti menahan tangis saat membaca Al Quran. Sering aku diam-diam
berada di belakangnya, memerhatikan ia meraba-raba titik-titik yang
bertonjolan di buku Al Qurannya. Sumpah, dia bisa membuatku bangun pagi
atau tak membuatku pergi serta rela tak tidur siang hanya untuk bisa
memerhatikan dan mengamatinya.
Jika ia yang tak sempurna saja begitu rajin dan
semangat belajar juga beribadah, kenapa aku yang sehat justru sibuk
maksiat. Entah, ada kekuatan dari mana, meski malu-malu kucing pada
awalnya, aku sering diam-diam menjadi makmum di sampingnya. Biasanya ia
akan tersenyum dan menepuk punggungku seraya berucap syukur.
Lama-kelamaan aku merasa dekat dengannya. Sedikit demi sedikit aku mulai
berubah, meski aku harus mati-matian menahan keinginan lamaku. Alhamdulillah, pada akhirnya aku bisa berhenti dan lepas dari semua itu. Kutinggalkan masa laluku tanpa keraguan sedikitpun.(***)
Jazakallah khair untuk Mas Widi, syukran untuk semuanya.
Mohon Di Share:
Judul: Hidayah Menyapa Melalui Seorang Tuna Netra
Diposting Oleh Unknown
Tolong berikan saran dan kritik sahabat di kolom komentar. Salam blogger, Terima kasih
No comments:
Post a Comment