Uang, materi… jangan ditanya. Aku sudah
bisa meraupnya sejak usia belia, aku bisa memenuhi kebutuhanku sendiri
juga membantu ekonomi keluarga. Sayang, seiring bertambahnya waktu dan
usiaku, semua berubah. Bukan perubahan baik, namun inilah awal dari
kehancuranku.
Usia remaja membawaku pada pencarian jati
diri, begitu orang bilang. Aku yang semula anak mama, kini merasa
terkekang dengan kehadiran mama. Ya, mama yang membuat seluruh jadwal
kegiatanku. Katanya sih, agar aku punya waktu istirahat, bisa ngaji,
mengerjakan tugas sekolah ataupun show, hingga tak bertabrakan
waktunya. Mulanya aku memahami maksud baik mama, tapi kini semua
penilaianku berubah. Aku merasa mama mengatur hidupku.
Aku mulai menjadi pemberontak dan
pembangkang. Bila mama mengingatkan aku harus mengaji, shalat,
mengerjakan PR atau jadwal kegiatanku, aku akan marah pada mama. Aku
akan pergi dari rumah tanpa pamit, menghabiskan waktu bersama
teman-teman dan baru pulang larut malam.
Kontan saja mama yang khawatir menjadi
sangat marah, lebih-lebih karena aku perempuan. Mama sampai menangis
karena panik dan khawatir. Bayangkan, pukul satu dini hari aku baru tiba
di rumah. Itu pengalaman pertamaku pulang malam.
Shalat dan
mengaji mulai aku lalaikan. Tugas sekolahpun banyak yang terbengkalai.
Padahal ujian kenaikan kelas hampir tiba. Aku tak peduli. Hari-hariku
sibuk di luar rumah. Di luar kegiatan show, aku lebih banyak
nongkrong bersama teman-teman. Aku makin susah diatur. Pertengkaran demi
pertengkaran mewarnai hubunganku dengan mama.
Aku makin tak menghargai mama sebagai
orang tua tunggalku, semenjak papa meninggal. Aku tak pernah peduli apa
kata mama dan segudang nasihat baiknya. Dari hari ke hari, aku kian tak
terkendali. Bahkan suatu hari, aku pernah mengumpat mama dan
menganggapnya parasit dalam hidupku. Gara-garanya sepele, mama
mengingatkan aku untuk tidak berhubungan dengan seorang pria.
Aku yang tengah mabuk cinta menjadi gelap
mata. Aku mengumpat mama dan menuduhnya ingin menikmati hasil jerih
payahku. Mama tak berkata apa-apa saat itu. Ia hanya menangis diiringi
pandangan iba dua orang adikku. Adik bungsuku bahkan mengatakan aku anak
durhaka dan mendoakan buruk diriku. Kukemasi baju-bajuku, dengan hati
meradang. Satu tujuanku, menginap di rumah teman dan bersenang-senang.
Mama sempat menahanku, tapi kuhempas tangannya dengan keras.
“Astaghfirullah… Mama nggak punya maksud apa-apa Ri. Mama hanya ingin menjagamu…!”
Memang dibanding dua adik perempuanku,
aku berbeda. Dari sejak SD, adik-adikku telah rapi menutup aurat.
Sementara aku justru sebaliknya. Aku selalu membayangkan diriku menjadi
seorang bintang panggung. Dari semula mama kurang setuju, tapi ia tak
bisa menahan keinginanku.
Begitulah, hari itu aku pergi bersama
teman-teman, berbaur dengan teman-teman pria dalam satu mobil. Kami
menghabiskan hari itu hingga larut malam. Satu per satu teman-temanku
diantar pulang. Tinggal aku dan tiga orang teman priaku. Mobil melaju
tenang membelah jalan. Dari kaca spion, kulihat mereka berbisik. Aku
tiba-tiba merasa gelisah. Hatiku kian tak tenang, saat mobil berbelok di
jalan yang tak biasa kulalui, jalan alternatif keluar kota dan sepi…
Di perkebunan yang sepi, mobil mendadak berhenti. Jantungku berdegup kencang. Tiga teman priaku itu berniat buruk padaku. Alhamdulillah, otakku
berpikir cepat. Sesaat sebelum mereka melakukan niat jahatnya, aku
secepat mungkin membuka pintu. Tanganku sempat ditarik keras oleh sopir,
hingga terasa sangat ngilu dan sakit. Yang ada dalam benakku aku harus
bisa lepas apapun yang terjadi, hidup atau mati.
Begitu paniknya aku, ketika mereka
mengejarku. Hatiku tak henti menyebut asma Allah. Aku berlari sambil
menangis ketakutan. Bayangan mama berkelebat. Sungguh aku merasa
menyesal mengabaikan nasihat mama. Di tengah ketakutan, kepanikan, lelah
yang sangat juga kepasrahan atau lebih tepatnya putus asa, aku berpikir
inilah akhir hidupku. Bayangkan, tempat itu gelap dan sepi sejauh mata
memandang, tak ada tempat sembunyi dan berlindung. Kusebut asma Allah
dan mama sepanjang tangis pelarianku. Sementara kakiku sudah begitu
lelah, tubuhku bergetar karena takut yang sangat.
Alhamdulillah, dari jauh kulihat
ada kerlip beberapa lampu yang kian mendekat. Dua buah mobil rupanya.
Aku melambaikan tangan. Semula mobil itu hanya melewatiku namun kemudian
kembali mundur. Aku menangis menghiba minta diizinkan naik. Alhamdulillah, aku merasa aman, mereka rombongan orang usai hajatan.
Di mobil pikiranku kacau. Kuhubungi mama
untuk menjemputku di sebuah rumah sakit. Saat bertemu mama tangisku
pecah, aku minta maaf padanya atas semua sikapku. Aku percaya doa
mamalah yang menjagaku atas izin-Nya. Semenjak peristiwa itu, aku
berubah. Peristiwa masa SMU-ku belasan tahun silam masih saja kukenang,
kujadikan pelajaran berharga dalam hidupku. (***)
Jazakillah khair untuk mama
Mohon Di Share:
Judul: Do’a Mama
Diposting Oleh Unknown
Tolong berikan saran dan kritik sahabat di kolom komentar. Salam blogger, Terima kasih
No comments:
Post a Comment